Pernah ayah mengajak saya ke tempat kerjanya. Hari itu Sabtu, jadi kantor tutup setengah hari. Sebagai bocah tujuh tahun saya senang bermain di kompleks kantor itu. Gedung-gedungnya kuno. Diantara gedung yang satu dengan yang lain terdapat lapangan rumput yang luas dan pohon-pohon yang rindang. Ada beberapa menara besi tinggi yang disebut antena. Menara itu kokoh, batang-batang besinya jauh lebih tebal dari lengan saya. Karyawannya ratusan dan semuanya lelaki. Ketika itu Bandung masih berada di bawah pemerintahan Belanda. Pada papan nama kompleks itu tertera: Nederlands Indie Radio Omroep Maatschappij.
Meskipun asyik bergelantungan pada batang-batang besi menara itu, lama-lama saya jemu juga. Untunglah akhirnya bel berbunyi di tiap gedung. Itu tanda saya akan pulang. Tetapi ternyata ayah dan para karyawan lain antri di depan sebuah loket. Ini hari gajian.
Antrian itu panjang dan mulai melingkar seperti ular. Uh, lama sekali menunggunya. Ketika saya mendekati, ayah menghalau, “Owe jangan kesini. Main di lapangan sana!!” Tetapi saya sudah bosan. Saya ingin pulang. Saya lapar. Lalu saya duduk di bawah pohon menonton antrian itu. Ternyata ayah termasuk yang paling jangkung. Bahkan ayah lebih tingi daripada orang yang berkopiah. Ayah bisa melihat ke depan melewati kepala orang-orang yang berderet di depannya. Enak juga jadi orang jangkung. Lalu saya bertekad, “Nanti kalau sudah besar, saya juga jangkung. Lebih jangkung dari ayah, supaya bisa melihat ke depan kalau antri gaji!”
Ketika menonton antrian itu saya heran. Mengapa ayah dan teman-temannya berdiri dengan tenang? Sungguh berbeda dengan kami di sekolah. Di sekolah kami antri sambil saling desak, saling dorong dan saling iseng. Pokoknya gaduh. Satu-satunya antrian dimana kami tidak gaduh adalah ketika di sekolah diadakan penyuntikan atau vaksinasi cacar. Nah, kami semua antri sambil berkeringat dingin ketakutan.
Antri adalah bagian dari hidup kita. Di supermarket kita harus antri menunggu giliran untuk membayar. Di perempatan jalan kita menunggu giliran lampu hijau. Hidup adalah sebuah antrian panjang. Di mana-mana kita harus berderet. Untuk masuk harus antri, untuk keluar juga harus antri. Kadang-kadang antrian terasa menyiksa. Pernah saya antri untuk masuk ke gedung perpustakaan dalam suhu udara beku minus 15 derajat Celcius dan terpaan angin kencang yang disebut The Siberian Blow. Berbalut empat lapis baju tebal pun masih kedinginan.
Apa yang kita rasakan dalam deretan panjang menunggu giliran? Jengkel. Kesal. Kok, lama betul? Kita jadi tidak sabaran. Nah, inilah faedah antri. Kita belajar menunggu giliran. Kita belajar sabar.
Kesabaran tampak sepele. Tetapi sampai hari ini dunia luput dari malapetaka nuklir berkat kesabaran, yaitu kesabaran dua kepala negara adidaya yang sabar berunding ketika terjadi krisis perang dingin. Dalam skala kecil pun kesabaran diperlukan. Rumah tangga, perusahaan dan organisasi bisa selamat dari perpecahan jika ada kesabaran. Yang menang dalam tiap pertikaian bukanlah keperkasaan atau kekerasan, melainkan kesabaran. Tulis seorang pujangga, “Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan”
Kesabaran juga turut menentukan ego atau warna kepribadian kita yang lengkap. Psiko-analisa membedaka nego yang lemah dan ego yang kuat. Ego yang lemah bersifat impulsif, kurang sabar dan kurang toleran terhadap frustasi. Ali dan Budi sedang antri di loket bioskop. Antrian itu panjang. Ali gelisah dan sebentar-sebentar melihat jam. Keluhnya, “Kok, lama sekali antrinya?!” Sebaliknya, Budi berdiri dengan tenang. Jawabnya, “Bukan cuma kita, semua orang juga antri.” Ali berego lemah, sedangkan Budi berego kuat dan mempunyai kematangan emosional sehingga ia mampu bersabar dan mampu menanggung rasa frustasi.
Darimanakah kita memperoleh kesabaran? Sumber kesabaran adalah Allah sendiri. Dia adalah “Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih dan setia” Tetapi kesabaran bukan turun dari langit. Secara aktif kita harus berusaha dan belajar untuk menjadi sabar. Kesabaran perlu pula kita “kejar” Sejak masa kecil seorang anak perlu belajar mampu menahan frustasi. Jika sejak kecil semua keinginan anak dikabulkan maka ia tidak bisa menjadi orang dewasa yang matang dan sabar. Ketika sudah dewasa ia akan meneruskan kebiasaan memaksakan keinginan, termasuk keinginan dalam doa kepada Tuhan. Ia menjadi orang yang berpola hidup “aku mau apa yang aku mau kapan aku mau!”
Belajar menjadi sabar tidak bisa terjadi dalam sehari. Seumur hidup kita masih terus belajar sabar. Mau antri dan bisa antri adalah sala hsatu cara belajar sabar.
Mungkin oleh sebab itu saya masih ingat melihat ayah antri gaji. Ia berdereet di bawah terik matahari sambil menaungi kepala dengan kertas koran. Ayah jangkung sehingga bisa melihat ke loket. Pada saat itu saya bertekad mau lebih jangkung dari ayah supaya saya bisa antri gaji sambil melihat ke loket.
Apakah tekad tersebut terlaksana? Tidak! Sama sekali tidak terlaksana. Pertama, ternayta tinggi saya cuma 168cm, berarti kalah 7cm dari ayah. Kedua, ternyata selama 40 tahun menjadi pendeta, saya tidak pernah antri gaji. Itulah enaknya jadi pendeta. Gaji diantar ke rumah oleh penatua. Padahal saya mau juga mengalami apa rasanya antri gaji.
Meskipun asyik bergelantungan pada batang-batang besi menara itu, lama-lama saya jemu juga. Untunglah akhirnya bel berbunyi di tiap gedung. Itu tanda saya akan pulang. Tetapi ternyata ayah dan para karyawan lain antri di depan sebuah loket. Ini hari gajian.
Antrian itu panjang dan mulai melingkar seperti ular. Uh, lama sekali menunggunya. Ketika saya mendekati, ayah menghalau, “Owe jangan kesini. Main di lapangan sana!!” Tetapi saya sudah bosan. Saya ingin pulang. Saya lapar. Lalu saya duduk di bawah pohon menonton antrian itu. Ternyata ayah termasuk yang paling jangkung. Bahkan ayah lebih tingi daripada orang yang berkopiah. Ayah bisa melihat ke depan melewati kepala orang-orang yang berderet di depannya. Enak juga jadi orang jangkung. Lalu saya bertekad, “Nanti kalau sudah besar, saya juga jangkung. Lebih jangkung dari ayah, supaya bisa melihat ke depan kalau antri gaji!”
Ketika menonton antrian itu saya heran. Mengapa ayah dan teman-temannya berdiri dengan tenang? Sungguh berbeda dengan kami di sekolah. Di sekolah kami antri sambil saling desak, saling dorong dan saling iseng. Pokoknya gaduh. Satu-satunya antrian dimana kami tidak gaduh adalah ketika di sekolah diadakan penyuntikan atau vaksinasi cacar. Nah, kami semua antri sambil berkeringat dingin ketakutan.
Antri adalah bagian dari hidup kita. Di supermarket kita harus antri menunggu giliran untuk membayar. Di perempatan jalan kita menunggu giliran lampu hijau. Hidup adalah sebuah antrian panjang. Di mana-mana kita harus berderet. Untuk masuk harus antri, untuk keluar juga harus antri. Kadang-kadang antrian terasa menyiksa. Pernah saya antri untuk masuk ke gedung perpustakaan dalam suhu udara beku minus 15 derajat Celcius dan terpaan angin kencang yang disebut The Siberian Blow. Berbalut empat lapis baju tebal pun masih kedinginan.
Apa yang kita rasakan dalam deretan panjang menunggu giliran? Jengkel. Kesal. Kok, lama betul? Kita jadi tidak sabaran. Nah, inilah faedah antri. Kita belajar menunggu giliran. Kita belajar sabar.
Kesabaran tampak sepele. Tetapi sampai hari ini dunia luput dari malapetaka nuklir berkat kesabaran, yaitu kesabaran dua kepala negara adidaya yang sabar berunding ketika terjadi krisis perang dingin. Dalam skala kecil pun kesabaran diperlukan. Rumah tangga, perusahaan dan organisasi bisa selamat dari perpecahan jika ada kesabaran. Yang menang dalam tiap pertikaian bukanlah keperkasaan atau kekerasan, melainkan kesabaran. Tulis seorang pujangga, “Orang yang sabar melebihi seorang pahlawan”
Kesabaran juga turut menentukan ego atau warna kepribadian kita yang lengkap. Psiko-analisa membedaka nego yang lemah dan ego yang kuat. Ego yang lemah bersifat impulsif, kurang sabar dan kurang toleran terhadap frustasi. Ali dan Budi sedang antri di loket bioskop. Antrian itu panjang. Ali gelisah dan sebentar-sebentar melihat jam. Keluhnya, “Kok, lama sekali antrinya?!” Sebaliknya, Budi berdiri dengan tenang. Jawabnya, “Bukan cuma kita, semua orang juga antri.” Ali berego lemah, sedangkan Budi berego kuat dan mempunyai kematangan emosional sehingga ia mampu bersabar dan mampu menanggung rasa frustasi.
Darimanakah kita memperoleh kesabaran? Sumber kesabaran adalah Allah sendiri. Dia adalah “Allah penyayang dan pengasih, panjang sabar dan berlimpah kasih dan setia” Tetapi kesabaran bukan turun dari langit. Secara aktif kita harus berusaha dan belajar untuk menjadi sabar. Kesabaran perlu pula kita “kejar” Sejak masa kecil seorang anak perlu belajar mampu menahan frustasi. Jika sejak kecil semua keinginan anak dikabulkan maka ia tidak bisa menjadi orang dewasa yang matang dan sabar. Ketika sudah dewasa ia akan meneruskan kebiasaan memaksakan keinginan, termasuk keinginan dalam doa kepada Tuhan. Ia menjadi orang yang berpola hidup “aku mau apa yang aku mau kapan aku mau!”
Belajar menjadi sabar tidak bisa terjadi dalam sehari. Seumur hidup kita masih terus belajar sabar. Mau antri dan bisa antri adalah sala hsatu cara belajar sabar.
Mungkin oleh sebab itu saya masih ingat melihat ayah antri gaji. Ia berdereet di bawah terik matahari sambil menaungi kepala dengan kertas koran. Ayah jangkung sehingga bisa melihat ke loket. Pada saat itu saya bertekad mau lebih jangkung dari ayah supaya saya bisa antri gaji sambil melihat ke loket.
Apakah tekad tersebut terlaksana? Tidak! Sama sekali tidak terlaksana. Pertama, ternayta tinggi saya cuma 168cm, berarti kalah 7cm dari ayah. Kedua, ternyata selama 40 tahun menjadi pendeta, saya tidak pernah antri gaji. Itulah enaknya jadi pendeta. Gaji diantar ke rumah oleh penatua. Padahal saya mau juga mengalami apa rasanya antri gaji.
0 komentar:
Post a Comment
Terimakasih kepada yang sudah memberikan komentarnya dengan baik.